Jumat, 08 Agustus 2008

KAYU UKIR AKAR JATI RANDU BLATUNG

KERAJINAN KAYU BONGGOL/AKAR JATI


SENI PAHAT: Salah satu hasil seni pahat dengan bahan sisa-sisa kayu hutan yang tidak termanfaatkan, turut dipamerkan dalam Forest Art Festival di Hutan Randublatung Blora, baru-baru ini.(30m) - SM/Wisnu Kisawa


KETIKA ditanya tentang di mana letak hutan jati Randublatung, seorang karyawan SPBU di daerah perbatasan Blora memberikan pernyataan yang cukup menarik. Bukannya menjawab, karyawan itu justru balik bertanya dengan berkata, ''Hutan yang mana karena sepengetahuan saya hutannya sudah habis.''

Pernyataan yang sekaligus mengandung kesangsian itu barangkali bisa menjawab pertanyaan mengapa Forest Art Festival (FAF) yang diselenggarakan baru-baru ini digelar di Hutan Randublatung Blora. Karena secara tidak langsung, pernyataan itu mungkin memperjelas maksud dari penyelenggaraan festival tersebut.

Boleh jadi hutan memang sengaja dipilih karena dipandang cukup mewakili tujuan dari penyelenggaraan festival yang digelar selama dua hari dan menghadirkan berbagai macam sajian seni itu. Menurut data dalam katalog berjudul Bhumijati yang sengaja diterbitkan untuk FAF, kerusakan ekosistem hutan yang terjadi di Indonesia sudah sedemikian serius.

Diperkirakan 900 ribu hektare sampai 1,3 juta hektare hutan dibuka setiap tahun sehingga hanya menyisakan 61 persen habitat alami. Bahkan di Jawa dan Bali habitat hutan yang lenyap sudah mencapai 90% lebih. Sebuah kondisi menyedihkan untuk kelestarian ekosistem.

''Blora yang memiliki luas wilayah 1.820,59 km2 dengan 49,66% di antaranya hutan, juga mengalami nasib yang tak berbeda jauh. Sebab, 40% hutan yang ada sekarang telah rusak akibat penjarahan dan penebangan yang membabibuta,'' papar Exi, salah seorang panitia penyenggara FAF.

Kondisi yang sudah sedemikian memprihatinkan itu yang melatarbelakangi festival tersebut. Melalui pendekatan seni dan budaya, festival diharapkan menjadi sarana kampanye penyadaran terhadap kondisi alam saat ini yang semakin parah.

''Taruhlah kalau dalam skala kecil seperti yang terjadi di Blora, kami ingin kampung halaman kami kembali menjadi tempat di mana hutan jati mendapat porsi besar untuk tumbuh dan berkembang, seperti sebelum penjarahan dan penebangan secara membabibuta,'' ujarnya.

Maka jangan heran jika dalam berbagai pergelaran, hampir seluruh seni yang dihadirkan bertutur tentang keprihatinan terhadap alam (hutan khususnya). Misalnya seperti yang terasa dalam pameran seni lukis, hampir semua lukisan berbicara tentang hutan.

''Itu memang bentuk keprihatinan kami tentang kondisi alam yang ada sekarang,'' ujar Imam Bocah, pelukis dari Komunitas Umbul Rembulan Jepara.

Terkena Imbas

Menurut penuturan Imam Bocah, kerusakan hutan Blora ternyata berimbas sampai ke Jepara.

Sebagai daerah yang selama ini dikenal sebagai sentra mebel, Jepara memang sangat bergantung pada pohon-pohon jati, khususnya dari hutan Blora.

''Saat hutan di Blora rusak, Jepara merasakan imbasnya.''

Dengan melihat kenyataan itu, tidak salah jika mereka yang terlibat dalam FAF berharap gelaran festival bisa menjadi sarana untuk memulai berkata tidak terhadap perusakan hutan. Mereka berharap, FAF menjadi pohon yang disemai air mata keprihatinan tentang hutan.

''Bagi kami, festival ini adalah keberanian untuk berkata tidak pada perusakan lingkungan. Demikian juga terhadap perburuan satwa liar, eksploitasi alam yang berlebihan, dan pembodohan serta pemiskinan masyarakat,'' tandas Exi.

Demikian, teriakan tentang penyadaran terhadap kerusakan lingkungan memang begitu kental mewarnai festival tersebut.

Meski terkadang, suara itu tak terasa jelas karena terbungkus dalam kalimat simbolis melalui tanda yang ada dalam berbagai media seni.

Namun, di antara keliaran tarian, kesyahduan suara musik, dan keragaman warna goresan kuas yang tersaji dalam hajatan tersebut, FAF memang diharapkan menjadi titik balik bagi siapa saja dalam memandang alam semesta.

0 komentar:


Blogspot Template by Isnaini Dot Com Powered by Blogger and Local Jobs